Minggu, 14 November 2010

hyral




Inside Sacmis: Hyral

By Kingrand ⋅ ⋅
Mereka datang bagai hantu: tiba-tiba, tak tentu asal. The Great Viner. Tak banyak percaya bahwa penguasa lautan itu masih eksis hingga sekarang. Sebelas tahun setelah dinyatakan bubar, mereka kembali muncul di depan publik. Memecah kedamaian, mengamuk, menghancurkan, membabi buta!
Sebelumnya Empire telah menyatakan kekalahan The Great Viner. Penguasa lautan ini telah diburu dan dihabisi hingga ke akar-akarnya. Namun hal itu setengah dipercaya, setengah tidak. Pirate Buster, divisi khusus yang diciptakan untuk menghancurkan Viner semula diduga hanya khayalan Empire saja. Pada kenyataannya belum pernah ada eksekusi besar-besaran terhadap kelompok ini. Padahal pemerintah-pemerintah dunia sebelumnya selalu menghabisi para pembajak
Kali ini korban The Great Viner adalah beberapa desa di wilayah Kerajaan Crossal. Desa-desa itu rata dengan tanah. Kondisinya tragis. Segalanya habis terbakar. Tak tersisa!
Tentu saja hal ini menimbulkan gerakan perlawanan yang sangat kuat. Pemerintah Crossal, bersama dengan Mistouvahn dan Northwind, bersatu untuk menumpas sisa-sisa kekuatan The Great Viner. Empire kembali turun tangan. Namun kali ini dipertanyakan keterlibatannya. Banyak yang percaya Empire malah melindungi para pembajak ganas ini.
Sekali lagi Great Viner kembali diredam. Namun darah telah tumpah. Rakyat kehilangan rumahnya, istri kehilangan suaminya dan anak kehilangan orang tuanya. Salah satu korban dari kebiadaban Viner adalah Duran Hyral.
Ketika itu umurnya belum 11 tahun. Dia sudah harus menjadi saksi kebrutalan iblis lautan itu. Pembantaian besar-besaran terjadi di hadapannya. Dia harus berlari, meninggalkan ayah ibunya yang bertarung. Dia harus kabur, meninggalkan Isabella, adiknya yang masih bayi. Dia harus sembunyi, meninggalkan jejaknya dari tanah kelahiran yang telah begitu akrab dengannya.
Duran kecil dikejar. Dia akan dihabisi. Para perompak Viner memang tak kenal ampun. Tidak hanya pria dewasa, para wanita dan anak-anak pun tak akan luput dari keganasan mereka. Namun sebelum sempat menyentuh Duran, para perompak itu sudah dihabisi oleh secercah kilatan berwarna ungu.
The Emperor, pemimpin tertinggi organisasi bawah tanah, Saint Lordrake Faction, sekaligus pengamat jagad Vandaria, telah mendapatkan petunjuk. Duran Hyral akan menjadi sesorang yang akan merubah Vhranas. Bahkan merubah Vandaria. Setelah itu dia memerintahkan Sensei Honmaru, The Hermit, salah satu bawahannya yang paling setia, untuk merawat dan membesarkan Duran.
Maka Duran hidup di bawah bimbingan Sensei Honmaru, bersama anak-anak lain yang juga mengalami masa lalu pahit. Mereka adalah anak-anak yang digariskan oleh The Prophecy. Mereka adalah anak-anak yang akan sangat berpengaruh bagi Vandaria secara keseluruhan.
Sensei Honmaru tak hanya mengajarkan akhlak dan budi pekerti, melainkan juga kemampuan untuk bertahan hidup. Sang Sensei dulunya adalah ahli bela diri termahsyur pada masa Black Blood War. Karena kebijaksanaannya, ia diberkahi usia yang begitu panjang. Anugerah itu pun digunakannya untuk membimbing anak-anak yang ditunjuk oleh Saint Lordrake Faction menuju jalan kebenaran.

Sambil berdiri, seorang murid memegang kepala Sensei Honmaru yang sedang duduk bersimpuh. Saat sang guru mendongakkan kepalanya, tiba-tiba sang murid menjerit menahan sakit. Pegangan pun terlepas. Lalu, sang murid mundur.
Sekali lagi, saat maju menyerang belum sampai menyentuh sang guru, si murid kesakitan dan mengerang. Sang guru saat itu masih dalam posisi duduk bersimpuh, tanpa gerakan sedikit pun, hanya menggoyangkan kepalanya saja.
Berkali-kali, tanpa menyentuh, hanya dengan menggerakkan kepalanya, sang guru membuat si murid kesakitan. Ini bukan tenaga dalam atau sesuatu yang gaib. Ini hanya efek dari konsentrasi dan koneksi antara yang diserang dan penyerang. Itulah inti ajaran dari Sensei Honmaru. Untuk bisa bertahan hidup, seseorang harus mengasah dan mengembangkan instingnya.
Lebih dari satu dekade, Duran tinggal bersama Sensei Honmaru. Dia telah menyerap segala intisari ajaran sang Sensei. Dia telah tumbuh menjadi seorang petarung handal, yang memiliki pemahaman tinggi tentang arti kehidupan. Di saat dia telah siap, Sensei Honmaru mengenalkan Patriach Riot Dark kepadanya. Tanggung jawab terhadap dirinya kemudian diserahkan kepada Sang Patriach legendaris. Lagipula sejak awal Duran telah digariskan untuk bergabung dengan Ordo Vhranas.
Tahun-tahun berikutnya dihabiskannya bersama Patriach Dark. Duran mulai menjejakkan kakinya di kota suci Dyn Volmus. Dia berjuang keras menjadi anggota Ordo Vhranas. Kemudian diangkat menjadi Deacon di pasukan elit Valiant Knights. Lalu pertarungannya di Holy Arena melawan Jazabel Durza, Arav Nathlum, dan Az Sweldn, yang dikenal sebagai tiga Valiant Knights muda terbaik. Dan… memperoleh Vhranasaber, pedang kebanggan Valiant Knights. Lalu, resimen Sacmis. Segalanya sesuai seperti yang digariskan The Prophecy. Segalanya seperti yang selalu diceritakan Sensei Honmaru padanya sejak kecil. Segalanya persis…

Kemudian sosok bayangan itu muncul.
Kejam, mengerikan.
Dia adalah pempimpin The Great Viner. Dia menyeringai bak serigala kelaparan menatapnya. Menatap erat-erat, seakan-akan pandangan ini bisa menyayat jiwanya.
Duran ketakutan…

Dering teleponlah yang membuat Duran terbangun dari mimpinya. Dengan terengah-engah dan terduduk di atas tempat tidur, kapten resimen Sacmis itu menggapai gagang teleponnya. “Halo?”
“Maaf, saya mengganggu ya, malam-malam begini…”
Suara Yuriel Celestan. “Ah, tidak. Sama sekali tidak, Yuriel,” jawab Duran gugup. “Apa yang bisa saya bantu?”
Duran melihat jam di dinding kamarnya. Pukul setengah sebelas. Ya sejujurnya, memang menganggu. Dan di atas jam sepuluh kan berarti sudah terlalu larut! Tapi ini adalah Yuriel. Wanita yang langsung menaklukkan hatinya sejak pertama kali mereka bertemu. Kebaikan dan ketulusan hatinya memang begitu memukau.
“Emmm, ini agak memalukan sebetulnya,” balas suara merdu itu setelah terdiam cukup lama. “Saya telah meminta ijin Ratu Scheherazade untuk bergabung dengan resimen Sacmis.”
Duran tidak segera menjawab. Hatinya meledak kegirangan. Jika Yuriel bergabung dengan resimen Sacmis, maka dia tidak akan jauh-jauh darinya.
“Duran… Umm, Duran… kamu tidak suka ya?”
“Oh, tidak! Bukan begitu!” balasnya segera. Duran tidak ingin Yuriel salah paham. “Aku cuma berpikir apakah Sang Ratu akan memberikan ijin itu.”
Yuriel menahan tawanya. “Kalau begitu, cobalah kau tebak?!”
“Tidak mungkin!” padahal Duran tahu kalau Ratu Scheherazade sudah pasti memberinya ijin. Kalau tidak, Yuriel tentu tidak akan meneleponnya dengan nada segembira ini.
“Salah!!” Yuriel kembali tertawa. “Saya diijinkan bergabung, selama dijaga oleh Saki. Dan ijinnya bukan hanya dari Ratu Scheherazade saja, melainkan dari Panglima Anastasis juga.”
“Luar biasa!” seru Duran bersemangat. “Ini bagus sekali. Resimen Sacmis akan makin kuat dengan adanya anggota sepintar kamu, Yuriel!”
Yuriel tidak segera menjawab. “Emmm, jadi kau merasa yang berharga dariku hanya otakku ini…”
“Bukan, bukan! Jangan salah paham begitu, Yuriel. Tentu saja aku sangat senang kau bergabung karena dirimu. Bukan hanya bagian-bagian tertentu saja, tapi dirimu seutuhnya.”
“Terima kasih,” suara Yuriel terdengar lega.
Pembicaraan terhenti sejenak. Duran menunggu kalimat Yuriel selanjutnya yang tak kunjung datang. Dia sendiri agak canggung memulai pembicaraan.
“Baiklah…” kemudian Yuriel melanjutkan. “Kalau begitu sampai besok, Duran. Besok kan acara inagurasimu. Acara yang sangat penting. Pelantikan kapten resimen Sacmis. Jadi istirahatlah yang cukup. Selamat tidur, ya.”
“Ya, kau juga, Yuriel. Jangan terlalu capek. Nanti kasihan Saki,” candanya.
“Baik!”
Telepon ditutup.

Sialnya, Duran tidak bisa tidur lagi malam itu. Wajah manis Yuriel terus membayanginya tiap kali dia mencoba memejamkan mata.
Duran menghabiskan malam itu di ruang tengah asrama pria. Dia mencoba melupakan bayang-bayang senyum Yuriel dengan memikirkan arti mimpinya tadi. Mimpi itu begitu nyata. Pasti ada sesuatu yang akan terjadi.
Sensei Honmaru pernah berkata bahwa alam semesta selalu memberikan pertunjuk kepada tiap makhluk hidup. Maka jangan pernah sepelekan sebuah petunjuk. Selemah atau sekecil apapun sebuah petunjuk, tetap saja itu sebuah petunjuk dari alam semesta.
Dia masih merinding ketika teringat seringai mengerikan itu.
Ini firasat buruk. Sesuatu yang sangat buruk akan segera terjadi.
Apakah ada hubungannya dengan Vhranasaber yang baru saja dimenangkannya?
Atau dengan resimen Sacmis yang akan dipimpinnya?

Seorang lelaki datang tergopoh-gopoh menghampiri Duran. Dia adalah Deacon muda, yang Duran bahkan belum mengenal namanya. Wajahnya pucat ketakutan.
“Deacon Hyral, akhirnya saya menemukan Anda di sini,” katanya.
“Ada masalah apa? Bukankah ini sudah terlalu malam untuk menemuiku?”
“Tapi ini amat penting,” potong Deacon muda itu. “Kapten… maksudku, Crusader Anastasis. Hilda Anastasis menunggumu di halaman depan.”
“Sakarang?” Duran tak percaya.
Deacon itu mengangguk lemah.
Duran mengumpat dongkol, kemudian segera bergegas menuju halaman depan.

Duran tidak mengenal putri bungsu Panglima Yunan Anastasis secara langsung. Dia hanya pernah mendengar reputasinya: Mantan kapten resimen Thoth yang sangat tangguh, keras kepala, susah diatur, dan sombongnya luar biasa.
Sialnya, para pembesar Valiant Knights berniat menjodohkan putri manja ini dengan dirinya. Bukan ‘menjodohkan’ dalam artian cinta, melainkan dalam resimen baru. Hilda Anastasis ditugaskan untuk menjadi wakil kapten Sacmis, orang kedua setelah dirinya.

Deacon muda itu tidak berbohong.
Hilda Anastasis sudah menunggunya di halaman depan. Seperti yang juga sudah dia dengar, putri bungsu Panglima Anastasis itu cantik bukan main. Entah bagaimana caranya, meskipun ia mengenakan armor Crusader lengkap, aura kecantikannya masih terasa memabukkan.
Kecantikan Hilda mengundang banyak penghuni asrama pria keluar kamar. Sebagian menikmati pemandangan indah itu dari atas balkon, namun tak sedikit juga yang memberanikan diri lebih dekat dengan lagak duduk-manis di halaman depan.
Duran yakin kalau sekarang kantin kumuh di pojok jalan Khosrau sedang kosong melompong. Bagaimana tidak, semua pelanggannya sudah pindah dan duduk di halaman ini!

“Jadi kamu Duran?” tanyanya.
“Dan kamu Hilda,” Duran membalas dengan senyum nakal. Memanggil nama depan putri Panglima bisa digolongkan tindakan kurang ajar, namun dia tak perduli.
Hilda ikut tersenyum, namun senyumnya terasa sinis.
“Kedatanganku ke sini untuk mengucapkan selamat secara langsung,” katanya kemudian. “Sekaligus berkenalan dengan pewaris Vhranasaber terbaru.”
“Oh, ya. Senang berkenalan denganmu, Hilda,” Duran masih mempertahankan sikapnya, agak melanggar batas.
“Dan kau tentu sudah tahu, Valiant Knights telah menugaskanku untuk menjadi wakil Sacmis…”
Duran mengangguk. Dia belum bisa menebak arah pembicaraan Hilda. Namun instingnya mengatakan kalau Hilda tidak datang dengan niat baik-baik. Apakah ini pertanda dari mimpinya tadi. Bisa saja. Tapi hati kecil Duran menyangsikan hal itu. Masa benar sih, dia dalam kondisi segawat itu. Meski niat sudah ada, tapi dia tak pernah menggoda putri Panglima Anastasis ini.
“… Namun aku punya prinsip, aku tidak sudi menjadi bawahan seseorang yang aku anggap tidak pantas.”
Duran masih mengangguk tak jelas.
“Jadi, kau setuju kan denganku?” Hilda mencabut pedang pendeknya.
“Hah! Hei, hei, tunggu dulu!” protes Duran sambil mengangkat kedua tangannya. “Prinsip apa maksudmu. Hei, turunkan dulu pedang…”
“Ambil. Senjatamu. Sekarang!” nada suara Hilda sangat mengancam. “Juga pakai armor yang layak!”
Duran tidak punya pilihan lain. Mata Hilda membara dipenuhi semangat bertarung. Para penonton juga mulai bersorak, memanggil teman-temannya, seolah-olah akan ada pertunjukkan seru.
Duran menatap lekat-lekat mata Hilda. Crusader itu serius.
“Apakah ini ada hubungannya dengan Arav Nathlum?” tanyanya. Semua orang juga tahu Arav Nathlum, murid terbaik Panglima Anastasis, sudah ditunangkan dengan Hilda. Duran mengalahkannya di babak semi final Holy Arena.
Hilda bersungut-sungut mendengar nama tunangannya disebut. “Tidak!” bantahnya tanpa berpikir. “Sama sekali tidak ada hubungannya!”
“Jadi ini murni tes?” Duran kembali bertanya. “Tes kelayakan sebagai kapten Sacmis?”
Hilda mengangguk. “Sekarang, cepatlah bersiap.”

Duran menghela nafas panjang. Dia hanya mengenakan kaos kebesaran dan celana kain untuk tidur. Duran melihat sekeliling, kemudian beranjak ke sekelompok lelaki yang sedang berbisik-bisik sambil terus memandangi Hilda.
“Aku pinjam ini. Boleh?” kata Duran sambil mengambil
belati pendek. Belati itu tadinya digunakan untuk mengupas apel. Panjangnya hanya sepertiga pedang Hilda. Padahal pedang Hilda termasuk yang paling pendek dalam jajaran Valiant Knights.
“Kau menghinaku, Duran!” bentak Hilda melihat tingkah lawannya. “Kau pikir aku tak akan bertarung dengan serius melawan pemuda bersenjatakan pisau dapur?”
“Maka bertarunglah dengan serius!” jawab Duran sambil menimbang-nimbang belati itu.
“Tapi armormu…”
“Tidak perlu!” potong Duran. “Aku enggan kembali ke kamar hanya untuk memasang plat-plat besi selama setengah jam, kemudian bertarung sepuluh menit, dan kembali harus mencopot plat-plat itu lagi. Sama sekali tanpa bermaksud meremehkan, aku memutuskan untuk bertarung mengenakan apa yang aku pakai sekarang.”
Sebagian penonton berdecak kagum. Beberapa malah bertepuk tangan. Wajah Hilda merah padam. Dia benar-benar merasa diremehkan.
“Akan kubuat kau menyesal!” bentak Hilda sambil menerjang maju. Duran bersiap dengan kuda-kuda yang sangat tidak lazim.
Hilda menebas membabi-buta. Dia sangat serius. Serangan-serangannya diarahkan ke titik-titik vital. Serangan-serangan itu begitu cepat, namun Duran seolah-olah bisa melihat semua serangan Hilda sekian detik sebelumnya. Semuanya berhasil dihindari. Duran tidak bisa membalas serangan-serangan cepat Hilda. Apalagi senjatanya hanya pisau dapur! Dia hanya sibuk menghindar, sambil sesekali mencoba menebaskan pisaunya. Namun tebasan itu tak berarti. Gerakannya begitu luwes, malah terlihat seperti sedang menari.
Satu, dua orang menyemangati Hilda. Beberapa yang lain malah ada yang bersiul-siul kurang ajar. Para penonton sepertinya sudah menduga pertarungan ini akan berjalan sangat seru. Sebelumnya mereka sudah terhibur dengan aksi-aksi gila Deacon muda bernama Duran ini. Ketika pertama kali masuk asrama, Duran sudah menghajar gerombolan Deacon preman pimpinan Masahiro Kato. Selang beberapa minggu, sepak terjang pemuda ini kembali menggegerkan, karena mengalahkan Makruf Rashid. Sebelumnya Rashid juga dikenal sebagai seorang Deacon yang suka berbuat onar dan sangat ditakuti oleh Deacon-Deacon baru. Namun prestasi yang paling membanggakan adalah ketika Duran memenangkan Vhranasaber. Inilah pertama kalinya, setelah sekian lama, Vhranasaber jatuh ke orang di luar lingkaran dalam House of Anastasis.
Hilda menhantamkan perisai besarnya ke tubuh Duran. Kali ini dia tak mungkin menghindar. Tapi di luar dugaan, Duran malah menendang keras perisai itu, sehingga membuat Hilda terdorong mundur.
Ditendang?! Tidak masuk akal!
Hilda jadi bingung sekarang. Gaya bertarung Duran betul-betul aneh. Dia jelas-jelas tidak bertarung dengan ajaran Order of Vhranas umumnya, juga bukan menggunakan berbagai style Anastasis, apalagi seni bela diri Bedina kuno. Gaya ini sangat… Ortodoks. Gaya purba!
Kali ini Duran mencoba menyerang. Dia berputar, melakukan tendangan belakang yang lebih keras dari tadi. Hilda menahannya dengan perisai. Namun tendangan itu terlalu keras, sehingga Hilda terpental ke belakang. Di saat itu, Duran menerjang. Bersiap menusukkan pisaunya.
Hilda mengantisipasi dengan menghujamkan pedang pendeknya lebih dulu. Duran menangkis serangan itu dengan lengan kirinya. Tangan kanan Duran yang menganggam pisau masih bebas. Mereka sangat dekat. Kemudian…

“HENTIKAN SEKARANG JUGA!”
Abbot Ashraff Omar berkacak pinggang di gerbang asrama pria. Para penonton berhamburan setelah menyadari kehadiran salah satu Abbot yang paling disegani itu.
Hilda menampar wajah Duran yang begitu dekat dengan perisainya. Duran tak lagi menghindar.
“Apa-apaan ini, Anastasis!” bentak Abbot Omar.
Hilda tertunduk lesu. Walau bagai putri manja, namun di hadapan Abbot Omar, ia tidak bisa bersikap seenaknya.
“Mendatangi asrama pria selarut ini dan berbuat onar adalah suatu pelanggaan yang sangat berat, Anastasis. Kau tahu aku tidak akan segan-segan melaporkan hal ini ke dewan pembimbing…”
“Aku rasa itu terlalu berlebihan, Abbot Omar,” potong Duran.
Hilda kaget melihat Duran membelanya.
Abbot Omar melotot ke arah Duran. “Dan kau, Hyral. Kau juga bisa disalahkan dalam masalah ini. Jangan merasa hebat karena sudah memenangkan Holy Arena.”
Duran tersenyum santai. “Maafkan kelancangan saya, Abbot. Bukan maksud saya untuk bersikap kurang ajar. Mungkin saya yang belum memahami betul regulasi resimen. Saya pikir adalah hal yang wajar bagi kapten resimen untuk melihat kemampuan bawahannya.”
Wajah Hilda merah padam menahan marah. ‘Bawahan’? Kurang ajar betul, anak ini!
Abbot Omar tampak bingung. “Apa maksudmu?”
“Jadi begini, Abbot. Sore tadi saya sengaja memanggil Hilda untuk merundingkan tentang aturan-aturan resimen. Anda tahu, kan, sebelumnya dia adalah kapten dari resimen Thoth yang sangat hebat. Suatu hal yang wajar, jika saya perlu banyak berdiskusi dengannya.”
“Lalu, kenapa sampai terjadi perkelahian?”
“Kebetulan saya juga merasa perlu mengukur kemampuan Hilda sebagai wakil kapten.”
Hilda menggigit bibirnya. Kesal sekali.
Duran memang membelanya, namun sekaligus menginjak-injak harga dirinya.

Abbot Omar mencibir nyaris tak percaya. “Bah, jangan macam-macam kau, Hyral. Kau terkenal sangat badung di sini. Sudah berapa kali kau terlibat perkelahian macam ini?”
“Apa yang saya katakan adalah yang sebenarnya, Abbot,” Duran membela diri. “Anda bisa melihat dari senjata yang saya gunakan,” lanjutnya sambil menunjukkan pisau dapur. “Anda tidak mungkin berpikir Hilda bertarung dengan serius, kan? Apalagi saya tidak mengenakan armor sama sekali.”
Hilda sangat terkejut. Ia tidak bisa menganalisa ucapan Duran. Apakah itu suatu pujian.
“Hilda adalah petarung yang sangat hebat. Jika ini benar-benar perkelahian seperti yang Anda tuduhkan tadi, Abbot, tentu saja saya sudah terkapar bersimbah darah.”
Abbot Omar tidak bisa berkomentar. Ucapan Duran sangat masuk akal. Hilda memandang Duran lekat-lekat. Kapten Sacmis ini begitu karismatik.
“Ya, ya, kau mungkin benar…” kata Abbot Omar kemudian. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Sepertinya dia tahu bahwa ucapan Duran tidak sepenuhnya benar. Tapi tidak ada alasan untuk membantahnya. Yang paling penting, Duran dan Hilda punya alasan mengapa terjadi perkelahian.
“Oh ya, Hilda, sebaiknya kau perketat penjagaanmu,” kata Duran pada Hilda. “Khususnya dari sisi kiri perisai. Kau sering terlewat.”
Hilda mengenyitkan dahinya. Sandiwara apa ini?
“Jika lawanmu membawa senjata yang lebih mematikan, mungkin kau sudah habis,” lanjut Duran.
“Apa maksudmu, Duran!” suara Hilda melengking tidak terima. “Dari barisan Crusader, aku dikenal memiliki pertahanan yang terbaik…”
Belum sempat Hilda menyelesaikan kalimatnya, perisai besarnya jatuh ke tanah.
“Kau yakin kalau kau yang terbaik?” suara Duran terdengar sangat tajam.
Hilda kaget bukan main. Rupanya kulit yang mengikatkan perisai itu ke tangan kirinya habis terkoyak. Dia teringat pertarungannya tadi. Duran beberapa kali mencoba menyerang dengan pisau pendek itu, tapi seolah-olah selalu tidak bisa menjangkaunya. Rupanya Duran memang tidak pernah berniat menyerangnya secara frontal, melainkan hanya melucuti perisainya. Sungguh diluar dugaan.
“Wah, wah, wah… baru kali ini aku melihatmu kehilangan perisai, Anastasis,” ujar Abbot Omar. “Sepertinya Duran telah mengajarkan beberapa hal baru bagimu. Aku yakin kalian bisa menjadi tim yang sangat kompak.”
Hilda benar-benar tak percaya. Bagi seorang Crusader, perisai adalah segalanya. Kehilangan perisai bagaikan kehilangan harga diri. Duran telah membuka matanya, bahwa rupanya dia bukan orang sembarangan.
“Baiklah kalau begitu aku akan mengantarmu pulang, Anastasis,” kata Abbot Omar kemudian. Hilda tidak menjawab. Ia mengambil perisainya kemudian pergi tanpa berpamitan pada Duran. Duran hanya tersenyum. Abbot Omar tampak bingung melihat sikap keduanya.

. . .



“Luar biasa… sungguh luar biasa…”
Abbot Omar mendengar ucapan Hilda setelah cukup jauh dari asrama pria. Mereka sudah setengah jalan menuju Anastasis Citadel.
“Maksudmu Hyral?”
Hilda mengangguk. “Saya sama sekali tidak merasakan ancaman ketika dia menyerang. Dia hanya mencoba masuk, tapi tidak bisa meraih. Saya merasa di atas angin.”
“Ya, benar. Dia luar biasa,” Abbot Omar mengangguk sepakat.
Hilda menghentikan langkahnya. Dia memandang Abbot Omar lekat-lekat. “Abbot, ceritakan semua tentangnya! Aku ingin tahu segala sesuatu tentangnya!”
Abbot Omar menghela nafas. “Anastasis, kau bukan orang pertama yang takjub dengan kemampuannya. Aku yakin ayahmu, Panglima Yunan, juga merasakan hal yang sama. Sungguh sayang kau tidak sempat melihat pertarungan di Holy Arena.”
“Ya, memang sangat disayangkan.”
“Begini, Anastasis. Apakah kau tahu seni bela diri yang digunakan oleh Hyral?”
Hilda menggelengkan kepalanya. Betul sekali, ia juga sempat kebingungan dengan gaya bertarung Duran yang sangat aneh.
“Sudah kuduga. Itulah sebabnya banyak yang tidak bisa mengimbanginya. Hyral memiliki kemampuan bertarung yang sangat tidak wajar. Lalu, apakah kau tahu kalau dia berada di bawah asuhan dan perlindungan dari Riot Dark?”
Sekali lagi Hilda membelalakkan matanya. Patriach Riot Dark! Siapa yang tidak mengenalnya. Riot Dark dianggap sebagai Patriach terhebat di Ordo Vhranas. Sungguh kejutan yang luar biasa. Duran, kapten resimen Sacmis, punya hubungan dekat dengan Sang Patriach.
“Hyral baru masuk ke dalam Ordo sekitar tiga atau empat tahun lalu. Kariernya memang tidak pernah begitu menonjol hingga beberapa bulan terakhir. Banyak yang berpendapat bahwa dia adalah bagian dari organisasi besar yang sengaja disusupkan ke dalam Ordo.”
“Benarkah demikian?” Hilda tertarik.
“Banyak pendapat. Namun selama tidak ada bukti-bukti kuat, Hyral tidak bisa dianggap sebagai ancaman. Yang pasti aku mengenal Riot Dark dengan baik. Dan aku percaya Riot Dark sama sekali tidak punya itikad buruk terhadap Ordo. Kalau pun hal itu benar, Ordo punya sistem sendiri untuk mengatasinya.”
Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan. Citadel yang sangat megah sudah tampak dari kejauhan.
“Ijinkan aku memberimu saran, Anastasis,” suara Abbot Omar terdengar lebih serius dari sebelumnya. “Cintailah Sacmis seperti engkau mencintai Thoth.”
Hilda tertegun mendengarkan. Apakah Abbot Omar tahu perasaannya terhadap Duran dan Sacmis.
“Sacmis adalah pertaruhan yang sangat besar. Reputasi Ordo bergantung pada resimen baru ini. Aku berharap semua elemen pendukung Sacmis paham betul betapa penting misi yang akan diemban. Menangkap pemimpin Laskar Musadin bukan pekerjaan main-main. Dan kau, Hilda,” Abbot Omar menatap Hilda lekat-lekat, “adalah aset berharga bagi Sacmis. Kau punya pengalaman yang paling tinggi dalam sebuah resimen. Dukunganmu berarti kesuksesan Sacmis.”
Hilda mengangguk. Kini dia paham, mengapa Duran ditunjuk sebagai kapten, sementara dia adalah wakilnya. Dalam hatinya, dia berjanji akan mendukung penuh Duran Hyral.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar